Tidak banyak yang tahu tentang kisah masa lalu calon wakil gubernur DKI Jakarta Sandiaga Uno. Yang banyak diketahui orang adalah bahwa Sandiago Uno adalah pengusaha muda yang sukses, berada pada urutan 47 dalam deretan orang terkaya di Indonesia versi majalah Forbes.
Sekarang publik dibuat terperangah. Sandi harus berurusan dengan hukum. Dan ironisnya, kali ini Sandi harus berhadapan dengan orang tua angkatnya yang juga salah satu orang terkaya dan Ketua Dewan Direksi Ortus Holdings Edward S Soeryadjaya. Edward yang menyekolahkan Sandi ke Amerika dan mengajarkannya berbisnis hingga menjadi salah satu orang terkaya di Indonesia saat ini.
Baca:
- Sandiaga Mangkir Bayar Utang, Ternyata Memang Lakukan Penggelapan
- Sandiaga Uno Terlihat Gugup dan “Baper” Dipanggil Polisi
- Sandiaga Uno Melecehkan Hukum karena Tak Penuhi Panggilan Polisi
Bersama Andreas Tjahyadi, Sandi dilaporkan ke Polda Metro Jaya pada Rabu (8/3/2017) oleh Edward dengan pidana penggelapan dalam penjualan sebidang tanah di Jalan Raya Curug, Tangerang Selatan, Banten pada 2012.
“Penggelapan tanah kurang lebih satu hektar di Jalan Raya Curug,” kata kuasa hukum Edward, Fransiska Kumalawati Susilo Fransiska, Senin (13/3/2017).
Menurut Fransiska, pihaknya sudah berupaya menyelesaikan masalah itu secara kekeluargaan sejak Januari 2016. Namun, Andreas dan Sandiaga tak menanggapi upaya penyelesaian itu.
“Terakhir saya coba hubungi Sandiaga lewat WhatsApp tapi tidak dibalas. Kalau Andreas saya sudah lama tidak komunikasi,” kata Fransiska.
Edward tidak menyangka bahwa hubungannya dengan Sandi berujung pada sebuah kasus penggelapan sertifikat tanah lokasi proyek Depot BBM Pertamina Balaraja.
Putra tertua mendiang William Soeryadjaya, pendiri Grup Astra ini menuturkan, kasus ini bermula dari lelang sebuah perusahaan bernama Van Der Horst Limited di Singapura, sekitar tahun 2000. Edward memenangkan lelang itu, melalui perusahaannya L&M Group Investments Limited.
Dari hasil lelang, Edward mendapat budel asset Van Der Horst Limited, termasuk sertifikat tanah HGB nomor 031 yang berlokasi di Balaraja, Tangerang. Tanah itu adalah lokasi proyek Depot BBM Pertamina yang belum jadi dibangun.
“Belakangan saya tahu, sertifikat 031 ada pada budel Van Der Horst Limited karena PT Pandanwangi Sekartaji (PWS), yang menjadi mitra Pertamina dalam pembangunan depot itu, meminjam uang pembiayaan proyek ke Van Der Horst Limited. Dengan kata lain pada waktu itu, mereka menjaminkan sertifikat tersebut,” tutur Soeryadjaya kepada rmol.co.
Belakangan, PWS meminta ganti rugi ke Pertamina karena proyek depot tadi tidak diteruskan pembangunannya oleh PWS. Dengan dilandasi putusan Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI), Pertamina akhirnya mau membayar ganti rugi pembatalan proyek, asalkan kelengkapan proyek termasuk surat-surat sesuai putusan BANI tersebut dan sertifikat HGB tanah diserahkan ke Pertamina.
Belakangan diketahui, PWS hanya menguasai sertifikat lain, yaitu sertifikat HGB nomor 032, yang merupakan sertifikat pengganti HGB nomor 31, yang dilaporkan hilang.
Sertifikat (HGB no. 32) itulah yang akan diserahkan ke Pertamina. Edward mengetahui hal itu setelah dua kali membaca iklan Pengumuman Pertamina di koran Kompas bulan Mei dan Juni 2009 tapi lupa tanggalnya,.
Setelah membaca dan mengetahui bahwa sertifikat 032 tidak sah, maka Edward menulis kepada Pertamina imtik menjelaskan keberadaan sertifikat HGB nomor 031.
“Tadinya saya tidak tahu. Saya baru tahu belakangan, setelah membaca iklan Pengumuman Pertamina di koran itu,” jelas Edward.
Belakangan Edward mengetahui, ada sebuah perusahaan bernama PT Jakarta Depot Satelit (JDS), yang akan menjadi kontraktor pembangunan Depot BBM di Balaraja, yang telah melapor ke Polsek di Tangerang kasus kehilangan sertifikat HGB nomor 031. Dino Sudrajat, Direktur JDS bertindak sebagai pelapor.
Pelapor kelabakan setelah mendengar penjelasan bahwa sertifikat HGB nomor 031 ada pada. Dino Sudrajat kemudian mengadukan persoalan tersebut ke Polda Metro Jaya dengan tuduhan bahwa Edward telah mencuri sertifikat.
Polisi yang menerima laporan Dino kebetulan adalah polisi yang sama dengan yang dilaporinya soal kehilangan sertifikat HGB no. 31 itu beberapa tahun sebelumnya. Tentu saja polisi itu bingung.
Anehnya, ketika ditanya polisi, Dino mengaku belum pernah melihat sertifikat HGB no. 31 itu, apalagi memegangnya. Tapi Edward tetap diproses sebagai terlapor. Akhirnya, kasus di-SP3, karena tidak terbukti ada pencurian atau penggelapan. Tidak lama kemudian Dino Sudrajat meninggal dunia.
Berhadapan Dengan Sandiaga
Edward mengaku sunggu tidak tidak nyaman jika dihadap-hadapkan dengan Sandi.
“Sandi itu pertama kali bekerja di tempat saya. Saya menyekolahkannya ke Amerika dan saya juga bahkan terlibat dalam pernikahannya,” tutur Edward.
“Dia anak yang cerdas. Bahkan, dia yang pertama kali tahu ada berkas sertifikat tanah (HGB nomor 31) dalam budel Van Der Horst Limited. Waktu itu, dia masih bekerja untuk saya dan Sandi saya serahkan menjadi penanggung jawab atas asset yang saya peroleh dari hasil lelang Van Der Horst Limited di Singapura,” tambah.
Kemudian belakangan, tepatnya ditahun 2006, Sandi melalui perusahaannya sendiri membeli PWS dari pemilik lamanya, Johnnie Hermanto.
Walaupun sudah menerima pembayaran dari Pertamina sebesar USD 6,4 juta, Sandi belum juga melunasi kewajibannya kepada Johnnie Hermanto, yang sudah dibayar baru bayar 40%.
“Yang saya sayangkan, kenapa Sandi seolah gelap mata demi mendapatkan uang ganti rugi US$ 12,8 juta (sekitar Rp 110 miliar) dari Pertamina. Sayang sekali,”ungkap Edward.
Edward berani mencap Sandi gelap mata karena dia mengetahui, sertifikat HGB no. 031 itu ada padanya. Pada tahun 2000, pemilik lama Van Der Horst Limited yang ternyata masih menguasai JDS, pernah menulis dan meminta sertifikat HGB no. 31 itu kepada dirinya.
Sandi yang waktu itu masih bekerja untuk Edward menyatakan bahwa sertifikat HGB no. 031 bisa diberikan jika utang-utang pemilik lama Van der Horst Limited kepada keluarga Edward diselesaikan.
“Jadi, dia tahu bahwa Sertifikat HGB 031 itu ada pada saya. Sayang sekali, kenapa selanjutnya dia harus memaksakan Sertifikat HGB no. 032 itu sebagai dasar untuk memperoleh ganti rugi ke Pertamina. Itu sertifikat yang tidak sah, bisa melanggar hukum nantinya,”terang Edward.
Edward membantah kalau dirinya tidak pernah menunjukkan sertifikat HGB no. 31. Karena ketika diproses di Polda dulu itu, Edward menunjukkan bukti tersebut. Edward juga punya salinannya yang dilegalisasi oleh BPN (Badan Pertanahan Tangerang).
“Saya jamin, sertifikat 031 ada pada saya.”
Menggugat BPN Tangerang
Sehubungan dengan sertifikat HGB no. 032 itu, Edward menggugat BPN Tangerang di PTUN di Bandung agar BPN membatalkan keberadaan HGB no. 032.
Di tengah perjalanan, muncul gugatan intervensi kepada Edward dari JDS. Di PTUN Bandung Edward dimenangkan. Sertifikat HGB 031 dinyatakan sah dan berharga dan sertifikat HGB no. 032 dinyatakan cacat hukum.
Pihak JDS lalu mengajukan banding kepada Pengadilan Tinggi TUN di Jakarta. Putusannya, Edward dinyatakan tidak memiliki legal standing (kedudukan) untuk berperkara dalam soal sertifikat ini.
“Saya lalu mengajukan kasasi, tapi ditolak. Jadi, putusan Pengadilan Tinggi TUN dan MA hanya menyatakan saya tidak punya legal standing (kedudukan) untuk menggugat,” tegas Edward.
Keaslian sertifikat HGB 031 tidak pernah diuji oleh PT TUN atau MA karena para pihaknya dianggap masih harus membuktikan legal standing-nya sebagai pihak.
Setahun lalu, JDS juga menggugat Edward ke PN Jakarta Pusat. Hasilnya, PN Jakarta Pusat dalam putusannya tetap menyatakan keberadaan sertifikat HGB no. 031 di tangan Edward sebagai jaminan (atas adanya hutang piutang) adalah sah.
Salah satu yang menjadi pertimbangan hukum majelis hakim saat itu adalah bahwa sertifikat tanah sebagai jaminan adalah dimungkinkan. Sedangkan gugatan JDS ditolak seluruhnya.
(indonesiasatu/gerpol)