SBY yang Sudah Bukan Korban (Lagi)

489848
Berbagi di Facebook
Tweet di Twitter

Twit seruan kepada “Allah, Tuhan YME” mendadak banjir komentar pedas-pedas sedap. Pasalnya, netizen yang sedang bergairah untuk berkomentar pun membuncah energinya dengan sasaran empuk kepada Sang Mantan Presiden, Yang Terhormat Bapak Susilo Bambang Yudhoyono. Ada apa gerangan? Netizen tampak antipati dengan jurus andalan retorika menjadi korban ala Yudhoyono.

Padahal, dulu, retorika korban bisa laris manis tanjung kimpul untuk mengantar sang Mantan Presiden menduduki kursi panas RI 1 sebanyak dua kali. Mengapa jurus ini tampak mandul? Apakah retorika korban sudah tidak layak jual lagi dalam jagat marketing politik?

Pelan tapi pasti, mari kita bongkar pemetaan pasar dengan melihat kembali sejarah ke 10 tahun yang lalu.

Pemilihan presiden yang dimenangkan oleh SBY-Jusuf Kalla tahun 2004-2009 dengan nilai signifikan, yakni 60.62% melawan Megawati-Hasyim 39.38% merupakan sebuah tonggak sejarah di mana rakyat boleh langsung memilih. Bisa jadi, gegernya masyarakat Indonesia untuk memilih SBY adalah karena sebuah narasi korban, di mana SBY “tampak” menjadi bulan-bulanan sang penguasa saat itu, yakni Megawati Soekarno Putri. Peristiwa tersebut tampaknya membuat rumus “Drama Triangular Korban” dari Karpman yang ditarik dari analisis transaksional berlaku di sini.

Rumus “Victim Triangle” berlaku seperti ini. Ada tiga peran dalam narasi korban yakni: Pelaku/Prosecutor (orang yang melakukan kezaliman atau perbuatan jahat), Korban/Victim (orang yang mengalami perbuatan jahat dan dirugikan), dan Rescuer/penyelamat (orang yang menjadi pahlawan dengan menyelamatkan korban dengan membalas pada Pelaku). Melalui segitiga peran ini sebagai alat analisis, kita dapat membuka retorika korban yang terjadi saat itu.

Megawati diceritakan sebagai “pelaku” atau orang yang telah berbuat jahat pada SBY dengan mengucilkan SBY, membuat statement bahwa SBY seperti anak kecil, dan memojokkan SBY di media massa. Prof. Dr. Tjipta Lesmana pun menulis Megawati dan PDI-P berhasil digiring masuk dalam jebakan cantik SBY untuk mendulang simpati publik.

Nah, jelas bahwa narasi waktu itu korbannya adalah SBY. Ia pun mundur (dengan terhormat) sebagai Menko Pohulkam. Di sinilah simpati rakyat mulai muncul akibat persepsi ketidakadilan Megawati sebagai penguasa saat itu. Bahkan kalimat “SBY Mundur, Mega Tersenyum,” mampu membuat antagonisasi Mega berhasil tertancap di benak publik.

Lalu, siapa Rescuer atau penyelamatnya? Di sinilah masyarakat atau rakyat muncul sebagai penyelamat bagi SBY, atau setidak-tidaknya sebagai protes pada penguasa yang berbuat jahat pada anak buahnya. Masyarakat diceritakan sebagai penyelamat dengan memenangkan korban menjadi RI 1 untuk membalas kejahatan si pelaku atau Megawati.

Prof. Tjipta menulis, “Ia (SBY) memilih timing yang tepat untuk mendeklarasikan pencalonan dirinya, yaitu ketika opini publik sudah memvonis Megawati sebagai presiden yang telah memperlakukan salah satu menterinya, Menko Polkam, secara tidak adil dan sewenang-wenang yaitu me-non-job-kan SBY selama berbulan-bulan.” Waktu yang tepat, pembentukan opini massa, dan pernyataan sikap menjadi momentum berharga munculnya sebuah narasi korban.

Tetapi, inilah politik, kawan! Kadang ia lebih kejam dari ibu tiri. Ratapan seseorang dalam politik pun bisa menjual segudang cerita dan sejumput suara.

Lalu, bagaimana seseorang mempunyai amunisi untuk masuk dalam penokohan “korban” sehingga secara efektif bisa mengekspresikan diri sebagai “yang tidak bersalah”? Amunisi sebagai konstruksi korban menjadi sangat penting. Apa saja itu?

Pertama, tentu pembentukan opini oleh media massa. Perlu ada umpan yang dilempar ke permukaan dan ditangkap sebagai dalil kezaliman penguasa oleh media. Kedua, perlu ada pernyataan sikap terhadap posisi diri sebagai korban. Ketiga, adanya konsistensi dari cerita ini sehingga sukses membentuk cerita.

Setelah amunisi itu lengkap, masih ada yang perlu diperhatikan, yakni risiko memainkan retorika korban. Jika dilihat dari peristiwa Pilpres 2004-2009, terdapat jenjang waktu selama 10 tahun untuk melakukan proses yang disebut audi alteram partem atau mendengar cerita kedua belah pihak. Selama waktu itu, terjadi berbagai macam peristiwa yang bisa mengubah persepsi hingga mengecek konsistensi pesan yang sudah dibentuk.

Selain itu, cerita yang sudah berlaku lama bisa jadi tidak berlaku lagi kini. Waktu telah memberi peluang bagi publik untuk mencari tokoh baru, narasi baru, dan legitimasi baru dalam peran politik seseorang atau suatu kelompok. Bisa jadi pula demografis dan psikografis para pemilih dalam politik juga sudah berubah atau bergeser.

Risiko lain, menurut MacDonald yang menganalisis propagandis Serbia dan Kroasia, adalah munculnya self-righteousness atau merasa diri benar sehingga menimbulkan kemunafikan yang terbaca oleh publik. Retorika korban yang berlangsung terus-menerus, bahkan digunakaan sebagai jurus andalan justru akan membuat publik mampu membaca terjadinya kemunafikan si tokoh pengguna. Di sinilah risiko yang seharusnya dibaca oleh politisi yang ingin menggunakan retorika korban.

Menurut Fatima Naqvi dalam kumpulan tulisannya tentang budaya masyarakat korban, menciptakan wacana publik untuk membuat diri sendiri menjadi korban akan menciptakan peluang kritik pada individu atau kelompok. Sebab, pembudayaan retorika korban bisa pula mendorong terjadinya pembodohan publik. Jika ini terbaca, maka kemarahan publik pada tokoh maupun kelompok pun bisa terjadi.

Lebih jauh, saya melihat, retorika menjadi korban tampak mandul jika disundul oleh orang yang sama dengan modus dan cara yang sama. Dalam hal ini Lasswell mengungkapkan mengenai faktor Who? dan Says What? yang sangat relevan untuk membuat sebab musabab kegagalan retorika menjadi korban.

Misalnya tokohnya adalah “SBY lagi-SBY lagi” dengan cara mengeluh dan minta dikasihani masyarakat. Ini menimbulkan risiko hafalan dari masyarakat pada cara SBY menyikapi peristiwa politik. Bukannya simpati malah antipati karena sudah hafal dengan cara tersebut.

Tetapi, harus saya ungkapkan, tidak sepenuhnya retorika itu mandul jika ceritanya berbeda, tokohnya berbeda, dan cara menyampaikannya berbeda. Misalnya dalam kasus Ahok yang menjadi “korban” politisasi dan kriminalisasi jelang pilkada. Retorika menjadi korban tampak ampuh mendorong simpati yang luas. Sebab, ceritanya berbeda, tokohnya pun berbeda, dan bagaimana respons Ahok menjadi korban pun berbeda.

Masih ingat apa katanya sewaktu ditetapkan menjadi tersangka? Justru dengan lagak koboi, dia mengatakan, “Nelson Mandela dulu dipenjara juga, malah jadi Presiden. Siapa tahu gue juga.” Narasi keteguhan dan kebandelan Ahok ini justru digilai karena memberikan respons anti-hero yang berbeda atau protagonisme dengan cara yang berbeda.

Agaknya tokoh Ahok sebagai korban tampak merefleksikan tokoh film yang disukai kelompok psikografis dan demografis netizen masa kini. Justru yang anti-hero, artinya adalah tokoh heroik tetapi sifatnya agak nyleneh atau bertentangan dengan nilai hero yang sedang diusung, yang sedang trend.

Misalnya tokoh Sherlock Holmes yang dingin, sombong, dan penyendiri tetapi mampu menumpas kejahatan. Tokoh Iron Man, seorang yang protagonis tapi borjuis, sombong, cerdas, dan agak narsis.

Dari sini, kita bisa sedikit merefleksi bagaimana retorika menjadi korban masih mungkin laku dijual tetapi membutuhkan cerita, tokoh, dan pesan yang kekinian. Jangan lagi menggunakan air mata buaya, curhat usang, atau jurus usang andalan. Retorika menjadi korban kini harus dikemas dengan ketabahan, kekuatan, dan keberanian untuk memunculkan solusi sesuai dengan perkembangan publik.

Politik adalah perang persepsi dan perang narasi. Siapa yang mampu menciptakan persepsi dan narasi yang kuat, dialah yang menang. Mungkin dulu SBY yang menang, tetapi sekarang? Mungkin AHY… Ahok Haqul Yakin!

sumber