Salah satu keberhasilan Anies-Sandi melaju ke putaran kedua adalah program “oke oce”nya, yakni one kecamatan one center of entrepreneurship, program ini sering dikampanyekan Anies-Sandi dengan menyatukan ibu jari dan jari telunjuk sedangkan tiga jari lainnya dibiarkan mengembang ke atas atau agak melengkung yang ternyata adalah simbol mesum.
(Baca: Astaga! Simbol OK Anies Sandi Ternyata Simbol Mesum)
Program Sandi ini dianggap mampu menarik sejumlah suara. Ini lebih realistis ketimbang program bagi-bagi uangnya Agus untuk tiap RW. Tapi, kita perlu bertanya, apakah program oke-oce ini realistis dan terukur? Atau hanya pemanis yang melengkapi bualan dalam Pilkada?
Sebelum mengorek tentang beberapa kejanggalan dari program oke-ocenya Sandi, perlu kita telusuri rekam jejak Sandi sebagai pengusaha seperti apa? Rekam jejak adalah tolok ukur untuk melihat komitmen seseorang hari ini dan kedepannya. Ini sangat penting, sebab bagaimana seorang pemimpin dapat berpihak kepada rakyat, jika rekam jejaknya tak memperlihatkan semua itu.
(Baca: Hahaha, Sandi Patenkan OK OCE sebagai Brand Bisnis bukan Program Kerja)
Ada sebuah kasus yang dulu pernah menyeret nama Sandi Uno. Kasus ini tentang dugaan penipuan yang telah dilakukan Uno sehingga merugikan negara hingga Rp 115 miliar. Kasus ini menarik untuk ditelusuri karena hingga kini, Uno tidak pernah tersentuh KPK. Sepertinya, kasusnya dipeti-eskan oleh sejumlah pihak yang punya kepentingan dengan Uno.
Kejadian bermula pada tahun 1996 saat Pertamina dan PT Pandan Wangi Sekartaji (PWS) menandatangi proyek pembangunan Depo Minyak di Balaraja. Dikarenakan PWS tidak memiliki uang, maka digandenglah perusahaan Van Der Horst (VDH) milik Yohanes Kotjo. Yang jadi jaminan adalah sertifikat tanah bernomor HGB 031.
Saat terjadi krisis moneter tahun 1997, VDH bangkrut, sehingga pembangunan Depo Minyak di Balaraja mangkrak. Semua aset milik VDH dilelang. Pengusaha Edward Soeryadjaya (bapak angkat Sandi) memenangi lelang, dan memperoleh sertifikat HGB 031.
Krisis moneter yang terjadi juga mempengaruhi PWS. Akhirnya, pada tahun 2006, perusahan tersebut dibeli oleh Sandi Uno senilai US$ 1,5 juta. Saat memimpin perusahan tersebut Sandi menggugat Pertamina untuk memberikan uang ganti rugi atas pembatalan proyek yang dinilainya sepihak itu.
Akhirnya, Pertamina pun menyerah setelah didesak oleh Sandi, sampai-sampai kasus ini dibawa ke Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI). Dan akan membayar uang sejumlah US$ 12,8 juta kepada PWS dengan syarat PWS memberikan semua kelengkapan proyek termasuk sertifikat tanah proyek tadi.
(Baca: Hahaha, Sandi Patenkan OK OCE sebagai Brand Bisnis bukan Program Kerja)
Ternyata, PWS hanya menguasai sertifikat lain, yaitu sertifikat HGB 032, yang merupakan sertifikat pengganti HGB 031, yang dilaporkan hilang. Saat dikabarkan hilang, Edward sebagai pemilik HGB 031 menyampaikan keterangan kepada Pertamina bahwa sertifikat tersebut ada padanya. Keterangan dari Edward ini membuat pihak Pertamina dan PWS kelabakan.
Ternyata, ada dugaan kongkalikong antara PWS (Sandi Uno) dengan oknum di Pertamina untuk memuluskan pemberian ganti rugi ke PWS. Mengapa? Sandi tahu bahwa sertifikat 031 itu ada di tangan Edward karena Edward sendiri yang menunjukkannya. Lalu mengapa dia mengganti sertifikat tersebut dengan sertifikat palsu, dengan alasan yang nomor 031 hilang? Lalu, mengapa juga pihak Pertamina masih juga menandatangani kesepakatan saat Edward telah memberikan keterangan bahwa sertifikat tersebut ada? Tentu, ada yang sedang bermain mata.
Orang yang melaporkan ke polisi bahwa sertifikat nomor 031 hilang, kemungkinan orangnya Sandi juga. Orang tersebut diketahui bernama Dino Sudrajat atas nama PT Jakarta Depot Satelit (JDS), yang katanya akan menjadi kontraktor pembangunan Depo di Balaraja. Setelah Edward tahu ada pelaporan kehilangan itu, lalu ia menyatakan bahwa sertifikat tersebut ada, malah Edward yang dilaporkan karena telah mencurinya. Ini sangat lucu. Saat ditanya polisi, apakah pernah melihat sertifikat yang dimaksud, dia malah jawab tidak pernah. Namun belakangan, Dino dikabarkan meninggal. Entah karena apa.
Demi uang senilai Rp 110 miliar, Sandi rela menikam dari belakang bapak angkatnya sendiri yang telah menyekolahkannya ke Amerika dan terlibat dalam berbagai proses yang mengantarkannya menjadi pengusaha muda yang sukses.
Pihak Pertamina pun lepas tangan. Mereka hanya mempunyai kewajiban membayar ganti rugi. Mereka tidak mau masuk ke dalam pusaran sengketa ini jauh lebih dalam. Padahal, sudah berapa miliar uang negara yang keluar dari hasil penipuan yang dilakukan oleh Sandi.
Saya jadi bertanya-tanya, mengapa Sandi bisa selicin itu? Mengapa kasus penipuan yang telah merugikan negara ini tidak bisa sampai ke meja hijau? Laporannya masuk tapi tersangkut entah dimana. Proyek dan kasus korupsinya akhirnya sama-sama mangkrak. Entah kapan akan dibongkar.
Lalu bagaimana kaitannya dengan oke-oce nya Sandi?
Ahok pernah berkomentar tentang program oke-oce nya Sandi yang katanya akan mencetak 200 ribu pengusaha. Kata Ahok ini sangat mustahil. Di dunia saja, tingkat keberhasilan mencetak pengusaha hanya 10 persen dari jumlah calon pengusaha. Di Indonesia nggak akan jauh dari itu. Jadi, untuk mencetak 200 ribu pengusaha, harus dikumpulkan 2 juta calon pengusaha.
Menurut Ahok, perlu dana sekitar Rp 2 triliun untuk menjalankan pelatihan pengusaha. Katanya, modalin tiap orang 1 juta saja sudah sampai angka 2 triliun. Bagaimana jika modalnya 10 juta? Kan jadinya 20 triliun. Kan nggak mungkin buka usaha cuma modal 2 juta.
Dari statistik yang dibangun Ahok, kesimpulannya adalah program oke-oce nya Sandi terlalu mengada-ada. Program tersebut tidak dibangun di atas perhitungan yang akurat dan data yang tepat. Tapi bagi Ahok, kalau itu cuma buat kampanye, yah oke-oke saja. Karena kampanye kan banyaknya cuma berjanji.
Saya melihat sosok Uno yang santun, kalem juga kini terlihat lebih islami, ternyata tersimpan suatu rencana yang titik-titik untuk Jakarta. Coba lihat program rumah murah untuk rakyat yang tanpa DP. Itu mustahil dilakukan. Akhirnya, mereka ralat dengan DPnya diangsur. Rumah murah dengan harga Rp 300 juta di Jakarta dimana? Ini pun mengada-ada hanya karena ingin menang Pilkada.
Belum lagi klaim sepatu hasil gemblengan oke-ocenya Sandi. Bir pletok. Tempat hiburan malam bersyari’ah. Dan aneka fantasi “bisnis” yang menggairahkan orang-orang susah. Semua tidak realistis. Dan itu hanyalah umpan untuk menarik suara masyarakat yang telah terperdaya dengan retorika politik Paslon 3.
Dari program kampanye dan rekam jejaknya, sulit melihat ketulusan Sandi Uno untuk Jakarta yang lebih baik lagi. Bapak angkatnya saja ia tikam dari belakang, apalagi warga Jakarta yang tidak punya hubungan darah apapun dengannya. Jadilah pemilih yang cerdas. Pilahan anda menentukan Jakarta 5 tahun kedepan.
(seword/gerpol)