Seruan Menteri Agama RI, Lukman Hakim Saifuddin tentang ceramah di rumah ibadah, yang dirilis pada 28/4/2017, merupakan salah satu cara menghentikan ujaran-ujaran kebencian (hate speech) yang dapat mengarah pada kejahatan kebencian (hate crime).
Karena itu seruan ini harus didukung demi terciptanya kohesi sosial dalam kemajemukan. Selain larangan ujaran kebencian atas dasar SARA, seruan tersebut juga melarang penggunaan tempat ibadah sebagai sarana kampanye politik praktis, sebagaimana terjadi dalam Pilkada DKI Jakarta lalu.
Seruan sebagaimana dimaksud tidak mengganggu kebebasan berpendapat dan berekspresi karena kebebasan tersebut merupakan hak yang bisa dibatasi (derogable rights), karena mengandung unsur-unsur yang berpotensi mengganggu ketertiban sosial.
Apalagi seruan tersebut hanyalah mempertegas ketentuan peraturan perundang-undangan, baik yang tercantum dalam KUHP dan UU ITE terkait ujaran kebencian maupun dalam UU Pilkada, terkait larangan kampanye di tempat ibadah.
Namun demikian, seruan Menteri Agama tidak akan memberikan dampak signifikan jika tidak disertai dengan upaya-upaya penindakan dari pihak-pihak yang memiliki kewenangan. Dalam konteks pilkada, pengawas pilkada dan Tim Penegakan Hukum Terpadu (Gakkumdu) Pilkada, semestinya sigap menindak setiap praktik kampanye dan penyebaran kebencian atas dasar SARA di mimbar-mimbar keagamaan.
Polri, yang memiliki kewenangan menindak tindak pidana penyebaran kebencian, tidak cukup hanya menghimbau, tetapi semestinya dapat menggunakan unit pembinaan masyarakat (Binmas) untuk berkomunikasi dengan pengurus masjid, intel dan keamanan (intelkam) untuk melakukan pengawasan, dan satuan reserse kriminal untuk melakukan penegakan hukum manakala penceramah melakukan tindak pidana.
Pembelajaran dari Pilkada DKI Jakarta, dimana masjid-masjid digunakan untuk kampanye dan penyebaran kebencian atas dasar SARA begitu merajalela, semestinya elemen-elemen kunci dalam tubuh negara segera menyusun langkah bersama memastikan situasi serupa tidak terulang dalam Pilkada serentak 2018 dan Pemilu Legislatif dan Presiden pada 2019.
Kualitas demokrasi tidak melulu ditakar dengan hasil suatu proses elektoral tetapi yang utama justru bagaimana proses elektoral itu berpijak dan mempromosikan nilai-nilai demokrasi. Terima kasih.
(gerpol)