Pasal 20 ayat (3) KUHAP menentukan bahwa UNTUK KEPENTINGAN PEMERIKSAAN hakim di sidang pengadilan dengan penetapannya berwenang melakukan penahanan.
Selain itu, Pasal 26 ayat (1) KUHAP menentukan bahwa hakim pengadilan negeri, GUNA KEPENTINGAN PEMERIKSAAN berwenang mengeluarkan surat perintah penahanan untuk paling lama tiga puluh hari.
Dari dua pasal dalam KUHAP tersebut diatas, jelas dan tegas disebutkan bahwa tindakan penahanan yang dilakukan oleh hakim (pengadilan negeri) adalah untuk kepentingan pemeriksaan di dalam persidangan, sekali lagi, UNTUK KEPENTINGAN PEMERIKSAAN DI DALAM PERSIDANGAN.
Kapan kewenangan hakim pengadilan negeri dimulai dan kapan berakhir? Jawabnya adalah kewenangan hakim pengadilan negeri dimulai pada saat pengadilan negeri telah menerima surat dakwaan dan berkas perkara dari jaksa (penuntut umum), dan berakhir sesudah adanya putusan pengadilan yang dikeluarkan oleh hakim pengadilan negeri. Putusan pengadilan negeri tersebut belum dapat disebut berkekuatan hukum tetap, apabila terdakwa atau penuntut umum menempuh upaya hukum banding. Putusan pengadilan baru dapat dieksekusi setelah berkekuatan hukum tetap (sampai pemeriksaan tingkat kasasi di Mahkamah Agung). Hal ini perlu dijelaskan untuk membedakan istilah “penahanan” yang (salah satunya) DAPAT dilakukan oleh hakim pengadilan negeri dengan istilah “eksekusi” yang WAJIB dilaksanakan oleh jaksa eksekutor.
Hari ini, kita dipertontonkan akhir dari sebuah peristiwa hukum yang sangat kontroversial, yaitu KASUS AHOK. Terlepas dari isi putusan hakim dengan segala pertimbangannya, saya mencoba mengkritisi satu sisi permasalahan, yaitu langsung dimasukkannya terdakwa ke dalam rumah tahanan negara setelah putusan hakim pengadilan negeri selesai dibacakan. Alasan yang dikemukakan adalah isi salah satu amar putusan memerintahkan agar terdakwa segera ditahan. Isi amar putusan itu yang kemudian dianggap sebagai penetapan hakim yang termuat di dalam putusan.
Di titik ini, nalar hukum saya berkecamuk, meski bukan ini yang pertama saya mendengarnya. Kalimat “penetapan di dalam putusan”, selalu menjadi alibi untuk buru-buru menahan terdakwa. Padahal istilah penetapan dan putusan merupakan dua hal yang sangat berbeda.
Jika memang hakim pengadilan negeri menganggap perlu melakukan penahanan terhadap terdakwa, mengapa tidak langsung ditahan saja pada saat awal dimulainya proses persidangan terdahulu? Toh, KUHAP memberikan kewenangan kepada hakim pengadilan negeri untuk melakukannya, dan faktanya kewenangan itu tidak pernah dilakukan selama proses persidangan yang cukup panjang. Saya tidak habis pikir dan sama sekali tidak dapat mengerti, mengapa dengan “modal” putusan hakim pengadilan negeri, terdakwa langsung dimasukkan ke dalam tahanan, terlebih sejak awal proses penyidikan, terdakwa tidak pernah ditahan.
Jika argumentasinya saat ini terdakwa ditahan berdasarkan putusan hakim pengadilan negeri, bukan dieksekusi (karena putusan hakim belum berkekuatan hukum tetap), pertanyaan yang muncul, atas dasar kewenangan apa dan untuk kepentingan apa hakim pengadilan negeri menahan terdakwa, sementara kewenangan pengadilan negeri telah berakhir setelah putusan selesai dibacakan? Tegasnya, untuk kepentingan pemeriksaan yang mana lagi penahanan tersebut dilakukan? Apakah untuk kepentingan pemeriksaan di tingkat banding? Bukankah hal itu merupakan kewenangan hakim di tingkat pengadilan tinggi?
Melihat kenyataan ini, salahkah bila kemudian saya berpikir bahwa dalam peristiwa ini, secara terang-terangan telah terjadi penistaan terhadap hukum? Saya khawatir karena satu kejadian ini, marwah pengadilan negeri dapat berubah menjadi PENGADILAN NGERI !!!
Terakhir, mengenai adanya perintah penahanan di dalam putusan hakim yang belum berkekuatan hukum tetap, jika memang kita konsisten untuk taat dan patuh pada hukum, maka pihak kejaksaan tidak semestinya melaksanakannya. Silakan baca contoh surat yang pernah saya temukan di bawah ini, dimana jaksa di sebuah kejaksaan negeri MENOLAK untuk menahan terdakwa, meskipun telah diperintahkan oleh kejaksaan tinggi untuk melaksanakan perintah penahanan yang termuat di dalam putusan hakim.
(gerpol)