Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara menjatuhkan vonis dua tahun penjara terhadap Basuki Tjahaja Purnama ( Ahok) terkait kasus penistaan agama. Vonis dua tahun penjara atas Ahok tersebut dinilai sejumlah kalangan sebagai putusan yang janggal. Apalagi tiga hakim yang memimpin sidang Ahok dipromosikan mendapat kenaikan jabatan pasca putusan vonis.
Baca: Mengapa Pengadilan Tinggi Harus Tangguhkan Penahanan Ahok
Salah seorang inisiator petisi ‘Ahok tidak menista agama’, Dini Shanti Purnomo mengatakan, kejanggalan vonis Ahok tersebut merupakan bukti sedang terjadi supremasi hakim, bukan supremasi hukum. Dini mencatat ada empat kejanggalan dalam prosedur vonis atas Ahok.
Pertama, kata advokat alumni Harvard ini, hakim mengabaikan keharusan adanya teguran terlebih dahulu terhadap Ahok melalui Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Agama, Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri. Hal ini sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU No. 1 /PNPS/Tahun 1965 dan sebagaimana dikuatkan dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam uji materinya tahun 2012.
“Kedua, diterimanya keterangan saksi-saksi yang tidak independen dan tidak kredibel. Seharusnya tidak boleh ada saksi lain dalam persidangan kecuali saksi fakta dan saksi ahli. Saksi fakta adalah saksi yang menyaksikan sendiri peristiwa atau tindakan yang menjadi obyek pemeriksaan persidangan, tapi saksi-saksi pelapor kasus Ahok tidak ada yang hadir di pidato Kepulauan Seribu,” kata Dini dalam keterangan persnya, Jakarta, Sabtu (13/5).
Dia melanjutkan, kejanggalan juga terlihat saat vonis yang diberikan Majelis Hakim melampaui tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) tanpa didasari dengan bukti-bukti yang kuat. Alur analisa dan argumen pembuktian Majelis Hakim juga tidak jelas.
“Keempat, penahanan Ahok berdasarkan putusan yang belum memiliki kekuatan hukum tetap (inkracht) mengingat Ahok dan Tim Kuasa Hukum Ahok telah menyatakan banding atas vonis yang dijatuhkan,” lanjut alumnus Fakultas Hukum Universitas Indonesia ini.
Menurutnya, sudah saatnya dipikirkan dengan serius untuk adanya suatu sistem ‘check and balance’ atas pelaksanaan kekuasaan kehakiman. Di mana hakim tidak bisa dengan semena-mena menjatuhkan suatu vonis tanpa didasari oleh dasar hukum yang tepat serta didukung dengan bukti-bukti yang kuat.
“Akan sangat berbahaya untuk kepastian hukum apabila hakim mempunyai kebebasan tanpa batas dan dapat melakukan penerapan hukum sesuai seleranya tanpa memperhatikan prinsip-prinsip hukum dan aturan yang berlaku. Apabila hal ini dibiarkan terus menerus, maka yang terjadi di Indonesia bukanlah supremasi hukum, melainkan supremasi hakim,” tutup Dini.
(merdeka/gerpol)