TPDI: Majelis Hakim Perkara Ahok, Sosok Yang Arogan

1579
Berbagi di Facebook
Tweet di Twitter
Meme Ahok Mendunia, disebarkan laman 9GAG

JAKARTA-Putusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara dalam perkara Basuki Tjahaja Purnama dengan vonis dua tahun penjara disertai perintah untuk menahanan sementara untuk kepentingan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan secara hukum, menjadi bukti bahwa Majelis Hakim dalam perkara Ahok sangat arogan atau congkak. Majelis Hakim hanya menjadi corong Undang-Undang, tanpa menggali dan menemukan hal-hal baru demi perkembagan hukum pidana, perkembangan politik hukum di Inodensia dan rasa keadilan itu sendiri.

“Selama 70 tahun lebih kita bernegara dengan menamakan diri sebagai negara hukum, namun negara gagal melahirkan hakim-hakim yang visioner dan berwawasan kebangsaan serta belum mampu melepaskan diri dari belenggu pengaruh kekuasaan lain di luar kekuasaan Kehakiman itu sendiri,” ujar Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI), Petrus Salestinus di Jakarta, di Jakarta, Selasa (9/5).

Menurutnya, Majelis Hakim dalam kasus Ahok sama sekali tidak memiliki wawasan kebangsaan yang luas dan komprehensif. Hal itu terlihat dari begitu minimnya Majelis Hakim menggali dan mengelaborasi sejarah lahirnya pasal 156a KUHP dan suasana kebatinan dan dinamika perdebatan para pihak dan pihak terkait ketika pasal 156a KUHP dan UU No. 1/PNPS Tahun 1965 Tentang Pencegahan Penyalahgunaan Dan/Atau Penodaan Agama diuji tentang konstitusionalitasnya di MK tahun 2009 dan tahun 2012, dimana Hakim konstitusi dalam pertimbangannya bahwa penerapan sanksi pidana dalam pasal 156a KUHP merupakan sanksi yang bersifat “ultimum remedium”.

Artinya pemidanaan terhadap Ahok dengan menggunakan pasal 156a KUHP, harus merupakan upaya terakhir karenanya terhadap Ahok tidak dapat dikenakan sanksi pidana pasal 156a KUHP karena menurut pasal 2 UU No. 1/PNPS Tahun 1965 yang melahirkan pasal 156a KUHP, Ahok harus diberi peringatan terlebih dahulu dan jika tetap melanggar baru perbuatan Ahok dikualifikasi sebagaitindak dipidana dan dapat diproses dengan sanksi pidana menururt pasal 156a KUHP. “Sebagai kasus yang menarik perhatian media internasional bahkan dunia, maka penampilan Majelis Hakim dalam mengadili perkara Ahok sungguh-sungguh memalukan,” tegasnya.

Bahkan untuk kepentingan Ilmu Pengetahuan Hukum Pidanapun putusan Majelis Hakim dalam perkara Ahok sama sekali tidak memberikan sumbangsih apapun bagi dunia pendidikan hukum dan perkembangan Ilmu Pengetahuan Hukum Pidana, karena Majelis Hakim kurang menggali dan menemukan hukum baru serta hanya menjadi corong UU bahkan menjadi alat dari kelompok presure group.

Faktanya adalah Mejelis Hakim secara keliru memasukan perintah penahanan Ahok sebagai satu kesatuan dengan amar putusan yang mempidana Ahok dengan pidana penjara 2 tahun, sementara kepentingan pemeriiksaan untuk menahan Ahok bagi Mejelis Hakim sudah tidak ada lagi bahkan sudah berakhir dengan dibacakannya vonis Majelis Hakim. “Dengan demikian pertanyaannya untuk apa menahan Ahok saat Ahok menyatakan banding. Bukankah penahanan pada tahap banding sepenuhnya menjadi wewenang Hakim Pengadilan Tinggi Jakarta,” jelasnya.

Padahal terangnya pertimbangan Majelis Hakim untuk menahan Ahok terkait dengan kebutuhan persidangan dan alasan-alasan menurut pasal 21 KUHAP, sudah tidak relevan karena kebutuhan Majelis Hakim untuk memeriksa Ahok sudah tidak adalagi karena vonis sudah dibacakan. Posisi Majelis Hakim sudah berada di luar garis finish atau Majelis Hakim sedang berada pada posisi offside, karena sidang perkara Ahok untuk pemeriksaan tingkat pertama sudah berakhir dengan dibacakannya vonis 2 taun penjara.

Dengan memasukan perintah menahan Ahok menjadi satu kesatuan dalam amar putusan pemidanaan dua tahun penjara, maka pada saat Ahok mengacungkan jari dan memberitahu Hakim bahwa dirinya akan banding ke Pengadilan Tinggi Jakarta, maka saat itu juga perintah penahanan Majelis Hakim sertamerta tidak mengikat lagi karena putusan Majelis Hakim belum berkekuatan hukum tegap. Disini Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara telah merampas kewenangan Hakim Pengadilan Tinggi Jakarta untuk menahan dalam tingkat banding jika kebutuhan persidangan pada tingkat banding Majelis Hakim merasaperlu menahan Terdakwa,” pungkasnya.

(gerpol)