“Kita sibuk berwacana tentang konsep deradikalisasi…”
Suara saya keras dalam sebuah diskusi di warung kopi. Kebetulan sore itu saya diundang dalam sebuah forum yang dihadiri banyak akademisi dengan gelar yang panjang dari perguruan tinggi – perguruan tinggi ternama. Disana juga hadir beberapa orang dari pemerintahan yang sedang mengkaji cara terbaik memerangi radikalisme.
“Kita sibuk berwacana tentang konsep disini, sedangkan mereka sudah sejak lama memerangi kita. Mereka ada dimana-mana, di pemerintahan, di dalam masyarakat bahkan di dunia pendidikan..”
Semua terdiam. Mencoba merenung dalam tentang apa yang harus dilakukan.
“Tahukah, bapak dan ibu yang hadir disini ?
Di beberapa Taman Kanak-kanak, mereka bahkan sudah mengajarkan radikalisme sejak usia dini. Seorang guru TK mengajarkan kepada anak didiknya permainan ‘tepuk anak sholeh’. Mereka saling menepuk tangannya dengan slogan-slogan yang diucapkan bersama-sama ‘Muslim yes, Kafir no’ berulang kali..”
Saya ambil secangkir kopi yang sudah mendingin. Mungkin karena gemas, saya sampai sedikit tersedak ketika kopi pekat itu mampir di tenggorokan.
“Lihat proses doktrin yang mereka lakukan bertahun-tahun lamanya. Anak TK yang 20 tahun lalu diajarkan tepuk anak sholeh itu, sekarang sudah di universitas negeri dan berbaiat bersama 1500 mahasiswanya lainnya untuk mendirikan negara Islam dan menghancurkan Pancasila.
20 tahun lagi mereka juga yang akan mengisi parlemen kita dan menjadi orang tua dari anak-anak yang akan mereka doktrin juga..
Masih abaikah kita dengan fakta-fakta itu ?
Silahkan berwacana terus dan – perhatikan – tanpa sadar anak TK itu sudah menjadi monster yang terus menerus berteriak tentang halalnya darah kita. Dan mungkin tidak lama lagi mereka juga yang memerintahkan segerombolan fanatik untuk memenggal kepala kita..”
Kuhempaskan cangkir kopiku karena frustasi dengan sekelompok orang pintar yang masih nyaman dengan segala teori.
“Lalu apa yang abang sarankan ?” Tanya seorang kepala dari sebuah badan pemerintahan.
Aku terdiam sejenak. Sudah lama kuteriakkan ini dalam bisuku, dalam tulisanku yang berisi nada marah karena abainya hampir semua elemen yang ada.
“Radikal harus dilawan dengan cara yang radikal juga. Mereka sudah tidak bisa disindir, dihimbau, diperingatkan bahkan diancam. Mereka terus tumbuh membesar dan membentuk kelompok massa..
Cara yang terbaik sekarang ini, mulai dari lembaga di pemerintahan sendiri, tempat pemerintah mempunyai otoritas tertinggi.
Bersihkan masjid2 dari pengurus yang radikal di badan milik negara, yang menanamkan kebencian kepada pemerintah sendiri. Sarang mereka tidak jauh, bahkan sangat dekat. Ganti dengan dai-dai muda dari NU yang sudah paham tentang betapa pentingnya NKRI dan mendukung pemerintahan yang sah. Kuasai dulu medan perangnya dengan benar.
Sejalan dengan itu, ganti kepala sekolah negeri yang terindikasi radikal dengan yang mempunyai wawasan kebangsaan. Ganti guru agama di sekolah negeri dengan guru agama dari NU yang mengajarkan tentang indahnya perbedaan.
Berikan fasilitas kepada dai muda NU yang berwawasan untuk menguasai slot-slot acara keagamaan di stasiun televisi. Perintahkan stasiun televisi untuk menyiarkan lagu-lagu kebangsaan setiap hari. Doktrin mereka, lawan dengan doktrin juga..”
Gemuruh di dadaku teredam seketika ketika kuungkapkan kegelisahan yang kupendam selama ini. Bayangan bagaimana ISIS di Suriah dengan mudahnya menggorok leher seorang remaja tak berdosa menghantui pikiranku dan lelah otakku bekerja “bagaimana seandainya itu terjadi di Indonesia dan yang disembelih adalah putraku sendiri ?”
Kututup pidatoku yang berapi-api. Entah hari itu aku marah, menangis ataukah frustasi. Belum cukupkah pelajaran yang diberikan Tuhan dalam bentuk peristiwa hancurnya Timur Tengah yang ditayangkan sehari-hari ?
“Waktu kita tidak lama..” Kataku duduk kembali dengan resah. “Dua tahun lagi paling lambat, kita baru sadar bahwa tanpa memulai langkah hari ini, negara ini akan menjadi api yang membakar kita semua yang duduk dan berwacana hari ini…”
Kuseruput kopiku dan – entah kenapa – sebatang rokok menenangkanku kembali.
Denny Siregar 4 Mei 2017
(gerpol)