Beberapa waktu yang lalu tersebar di beberapa media bahwa ada sekelompok orang yang mengaku sebagai kiai NU DKI menyatakan dukungan kepada Paslon Anie-Sandi, parahnya sekelompok oknum ini membawa-bawa nama NU untuk mendukung salah satu Paslon, mereka telah menjual nama NU dengan begitu murahnya. (Baca: Memalukan! Oknum NU Menjual Murah Nama NU ke Anies)
NU memang sulit dipisahkan dari dunia politik, karena organisasi ini sudah puluhan tahun berkutat di dalamnya. Namun, berpolitik menurut NU memiliki kriteria dan tujuan sendiri, bukan dilakukan dengan segala cara hanya sekadar untuk meraih kekuasaan.
(Baca: Ketua Umum PBNU: Warga NU Silakan Pilih Nomor Berapa Saja, Asal Bertanggung Jawab)
Dalam Muktamar ke-28 di Yogyakarta (1989) dirumuskan Sembilan Pedoman Politik Warga NU, yaitu garis-garis pedoman untuk melangkah bagi kaum Nahdliyin yang menerjuni dunia politik.
Kesembilan pedoman politik itu adalah :
- Berpolitik bagi Nahdlatul Ulama mengandung arti keterlibatan warga negara dalam kehidupan berbangsa dan bernegara secara menyeluruh sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945.
- Politik bagi Nahdlatul Ulama adalah politik yang berwawasan kebangsaan dan menuju integrasi bangsa dengan langkah-langkah yang senantiasa menjunjung tinggi persatuan dan kesatuan untuk mencapai cita-cita bersama, yaitu terwujudnya masyarakat yang adil dan makmur lahir batin, dan dilakukan sebagai amal ibadah menuju kebahagiaan di dunia dan di akhirat.
- Politik bagi Nahdlatul Ulama adalah pengembangan nilai-nilai kemerdekaan yang hakiki dan demokratis, mendidik kedewasaan bangsa untuk menyadari hak, kewajiban dan tanggung jawab untuk mencapai kemaslahatan bersama,
- Berpolitik bagi Nahdlatul Ulama haruslah dilakukan dengan moral, etika dan budaya yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa, berperikemanusiaan yang adil dan beradab, menjunjung tinggi persatuan Indonesia, berkerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, dan berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
- Berpolitik bagi Nahdlatul Ulama haruslah dilakukan dengan kejujuran nurani dan moral agama, konstitusional, adil, sesuai dengan peraturan dan norma-norma yang disepakati, serta dapat mengembangkan mekanisme musyawarah dalam memecahkan masalah bersama.
- Berpolitik bagi Nahdlatul Ulama dilakukan untuk memperkokoh konsensus-konsensus nasional, dan dilaksanakan sesuai dengan akhlakul karimah sebagai pengamalan ajaran Ahlussunnah Waljamaah.
- Berpolitik bagi Nahdlatul Ulama, dengan dalih apapun, tidak boleh dilakukan dengan mengorbankan kepentingan bersama dan memecah belah persatuan.
- Perbedaan pandangan di antara aspiran-aspiran politik warga NU harus tetap berjalan dalam suasana persaudaraan, tawadhu’ dan saling menghargai satu sama lain, sehingga di dalam berpolitik itu tetap dijaga persatuan dan kesatuan di lingkungan Nahdlatul Ulama.
- Berpolitik bagi Nahdlatul Ulama menuntut adanya komunikasi kemasyarakatan timbal balik dalam pembangunan nasional untuk menciptakan iklim yang memungkinkan perkembangan organisasi kemasyarakatan yang lebih mandiri dan mampu melaksanakan fungsinya sebagai sarana masyarakat untuk berserikat, menyalurkan aspirasi serta berpartisipasi dalam pembangunan
Disela-sela Muktamar NUke-31 di Donohudan, Solo (2004), K.H. MA Sahal Mahfudz mengategorikan politik menjadi tiga bagian:
- Politik Kebangsaan, tujuannya membela Negara Kesatuan Republik Indonesia
- Politik Kerakyatan, tujuannya membela rakyat,
- Politik Kekuasaan, tujuannya mencari kekuasaan.
(Baca: Kyai Said Aqil Siradj dan Politik Pembusukan NU)
NU tidak boleh digunakan untuk mencari kekuasaan. Adapun warganya, tidak dilarang berpolitik, tapi ada aturan, etika dan pedoman, misalnya tidak boleh membawa institusi NU.
(ltnnujabar/gerpol)