Karangan Bunga Adalah Optimisme, Bukan Menye-menye, Bukan OK OCE

1346
Berbagi di Facebook
Tweet di Twitter

Hingga Rabu (26/4) malam, seusai hujan yang deras, kiriman papan bunga dari individu, keluarga, dan komunitas masih berdatangan di Balai Kota DKI. Sebelumnya, pendopo Balai Kota dipenuhi warga yang antre berjam-jam demi bertemu Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama.

Di antara warga yang mengantre adalah Lusi (24) yang siang itu duduk bersama anaknya yang berumur 3,5 tahun di tangga pendopo Balai Kota DKI. Ia beristirahat sebelum antre lagi bersama ratusan warga demi bertemu dan berfoto bersama Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama. Antrean berjubel memadati pintu masuk ruang tamu gubernur.

Baca:

“Kami ingin memberi semangat kepada Pak Ahok dan Pak Djarot, masih banyak ladang untuk mengabdi bagi masyarakat,” ujar Lusi yang datang berombongan mengendarai tiga mobil dari Ceger, Cipayung, Jakarta Timur. Mereka beriuran Rp 50.000 per orang untuk biaya transpor dan memesan karangan bunga.

Papan bunga dan karangan bunga melimpah ruah di halaman Balai Kota. Bahkan, diletakkan berjejer di jalur pejalan kaki di luar pagar Balai Kota dan di jalur hijau di seberang gedung.

Pada Pilkada DKI 2017, Lusi mendukung petahana itu. Namun, ia telah menerima kenyataan bahwa pasangan itu kalah. Ia hanya bisa berharap pemenang pilkada, Anies Baswedan- Sandiaga Uno, melanjutkan program dan membuat Jakarta lebih baik, seperti menjaga sungai Jakarta tetap bersih, mempertahankan program Kartu Jakarta Pintar, dan menjalankan pemerintahan secara transparan.

Harapan sama diungkapkan Sita (45) dari kelompok arisan BFF yang datang berseragam kemeja putih dipadu celana jins biru. Mereka mengapresiasi program-program petahana yang sudah dijalankan yang di antaranya ditunjukkan dengan saluran-saluran air dan sungaisungai yang bersih serta pemerintahan yang transparan.

“Kami masih ingin melihat pejabat jujur dan berprestasi tetap bekerja untuk rakyat. Mungkin bisa masuk ke kabinet pemerintahan,” ujarnya.

Dukungan terhadap kinerja yang baik dan nyata itu yang membuat mereka rela antre untuk mengucapkan terima kasih secara langsung kepada Basuki dan Djarot. Secara emosi, mereka masih bersedih. “Kami sebenarnya sedih sekali baru mendapat gubernur yang benar-benar bekerja, tetapi sudah harus berpisah,” kata Sita.

Lebih dari tiga jam mereka antre demi bertemu dan berfoto bersama Basuki. Seusai berfoto, mereka memekik bahagia sembari melihat hasil foto di layar telepon seluler.

Meski idolanya tak menang, Sita tetap menaruh harap pada Anies-Sandi. Ia berharap program-program kerja yang bagus dipertahankan dan dilanjutkan.

Bukan kegalauan
Sebagaimana mayoritas isi pesan pada papan bunga yang berlimpah di Balai Kota, warga yang datang tak galau dan bersedih berlebihan. Wajah-wajah cerah tertib mengantre.

Warga lain juga semangat dan sabar mengantre, seperti Syanete (54), Tiominar (59), Leily (51), dan Lendry (33), yang adalah anggota staf akademik salah satu sekolah yang berlokasi di sekitar Balai Kota. Mereka berharap pasangan baru nantinya menambah perhatian pada dunia pendidikan.

“Harap sabar, ya, bapak dan ibu. Saya jamin pasti bisa bertemu Pak Ahok di dalam,” ujar petugas pengamanan dalam dengan pengeras suara sekitar pukul 11.00.

Warga setia menunggu meskipun akhirnya menunggu hingga pukul 15.00 karena Basuki harus menerima sejumlah tamu dan istirahat.

Barulah ketika turun hujan deras menjelang sore, ratusan warga yang masih menunggu diminta tertib serta secara bergiliran masuk untuk bertemu dan berfoto bersama Basuki. “Terima kasih, terima kasih sudah mendukung,” kata Basuki kepada serombongan warga seusai berfoto. Setiap rombongan masuk terdiri dari 15-20 orang.

Hingga Rabu siang, berdasarkan data petugas Balai Kota, jumlah papan bunga ada sekitar 1.500. Semua disusun membentuk “dinding-dinding”. Satu papan bunga besar dikirim Partai Solidaritas Indonesia berukuran 4 meter x 12 meter dipajang di trotoar Jalan Medan Merdeka Barat. Di sana tertulis, “Satu Kekalahan, Seribu Bunga Merekah. Terima Kasih, Ahok!”.

Petugas pengamanan dalam sempat kewalahan dengan hadirnya ribuan papan bunga itu.

Rekonsiliasi damai
Reni Suwarso, Direktur Pusat Studi Pemilu dan Partai Politik FISIP Universitas Indonesia, mengatakan, hadirnya bunga dan warga ke Balai Kota menjadi simbol rekonsiliasi damai setelah kompetisi pilkada yang keras. Selama kampanye, iklim politik dan sosial di Jakarta panas dan gaduh dengan isu SARA. Karangan bunga, apresiasi kinerja, dan menerima kekalahan adalah sikap politik yang baik. Apalagi, dalam momentum rekonsiliasi, baik elite maupun warga.

“Bukankah itu cara menyampaikan pesan dengan damai dan justru melawan kampanye sebelumnya yang kasar, gaduh, dan menggunakan berita hoaks? Ini adalah bentuk perlawanan damai dan elegan,” ujar Reni.

Reni menambahkan, cara-cara damai dan elegan itu merupakan terobosan. Bunga dikenal sebagai simbol cinta kasih, baik untuk ekspresi suka maupun duka. Dengan cara damai itu, gaduh politik diharapkan segera usai.

Hal itu, kata Reni, harus diapresiasi. Pendukung Basuki- Djarot setidaknya sudah menyampaikan pesan kekalahan dengan bahasa bunga dan perdamaian. Selanjutnya, bagi gubernur dan wakil gubernur terpilih, tantangan untuk bekerja bagi warga Jakarta menanti di depan mata. Apalagi, petahana sudah membuat standar pelayanan publik yang tinggi.

Di Balai Kota, papan bunga dan antrean warga adalah wajah harapan dan terima kasih warga kepada pemimpin. Itu berlaku bagi semua pemimpin.

(kompascom/gerpol)