Pilkada DKI Jakarta memang sedang menjadi isu yang paling banyak diperbincangkan dalam satu tahun belakangan. Bagaimana tidak, Ahok seorang keturunan Tionghoa di Indonesia, maju sebagai Gubernur DKI Jakarta menggantikan Jokowi yang terpilih sebagai Presiden Republik Indonesia sejak tahun 2014 lalu. Sejak saat ini, isu Sara sudah mulai tercium demi menurunkan Gubernur baru DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama.
Isu ini semakin panas menjelang Pilkada DKI Jakarta Februari lalu. Ahok sebagai penista agama pun menjadi senjata andalan para pendukung pasangan calon lain, yaitu Agus-Sylvi dan Anies-Sandi. Akan tetapi, hasil pemungutan suara pada Februari lalu menyisakan pasangan Ahok-Djarot dan Anies-Sandi yang kemudian maju ke putaran kedua.
Hal ini dikarenakan pasangan Agus Harimurti Yudhoyono – Sylviana Murni hanya mendapatkan suara 937.950 dengan presentasi 17,02 %, sementara pasangan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok)- Djarot Syaiful Hidayat memperoleh 2.364577 dengan presentase 42,99 %, sedangkan pasangan nomor urut 3 Anies Rasyid Baswedan-Sandiaga Salahudin Uno memperoleh 2.197.33 dengan presentase 39,95 %. Dengan hasil ini, maka pasangan Agus-Sylvi tidak dapat maju ke putaran kedua.
Menjelang pemungutan suara Pilkada DKI putaran kedua ini isu SARA semakin banyak dihembuskan oleh banyak pihak di luar tim Ahok-Djarot. Panasnya pertarungan Pilkada DKI tahun ini ternyata tidak hanya dirasakan oleh kedua pasangan calon yang masuk ke putaran kedua, akan tetapi juga dirasakan oleh para pendukung masing-masing calon.
Isu yang paling ramai diperbincangkan setelah penistaan agama ialah larangan menyolatkan jenazah pendukung penista agama. Isu ini tidak hanya omongan belaka, melainkan terpampang dengan jelas melalui spanduk-spanduk di beberapa masjid di Ibukota. (Baca: Teror Politik Baru Itu Bernama Pengharaman Salat Jenazah)
Media sosial seperti Twitter dan Facebook menjadi wadah yang paling banyak digunakan bagi para pendukung kedua pasangan calon untuk memberikan dukungannya. Tak jarang dukungan ini bisa berubah menjadi pertarungan-pertarungan sengit di media sosial. Dunia maya memang mudah sekali dimanipulasi untuk membuat banyak orang terprovokasi. Tak jarang juga serangan-serangan ditujukan pada masing-masing pendukung pasangan calon.
Yang terbaru saat ini ialah serangan yang diluncurkan pada sebuah akun twitter pendukung Ahok-Djarot bernama @TrianaPPP. Wanita berparas cantik ini merupakan Ketua Bidang Hukum dan HAM DPP PPP yang bernama lengkap Triana Dewi Seroja. Belakangan akun twitternya banyak mendapat serangan dari pendukung-pendukung pasangan calon sebelah. Bahkan serangan ini masuk dalam kategori pelecehan seksual. Komentar-komentar ini dicuitkan oleh akun Twitter @kangdede78.
Beginilah karakter pendukung No.3, akun mbak @TrianaPPP mrk hajar dgn cara2 KOTOR.
Cagub @aniesbaswedan bisa tertibkan? ndak mungkin pic.twitter.com/DlrYaM0ugc— #Kami2 (@kangdede78) March 19, 2017
Adapun PPP merupakan partai politik pendukung pasangan Ahok-Djarot pada Pilkada DKI Jakarta 2017. Partai berlambang Ka’bah itu tak mengusung Ahok-Djarot. Karena PPP versi Muktamar Jakarta tak mendapat SK resmi dari Kementerian Hukum dan HAM.
Sedangkan PPP pimpinan Romahurmuziy mengusung pasangan Agus Harimurti Yudhoyono-Sylviana Murni pada putaran pertama Pilkada DKI Jakarta 2017. Pada putaran kedua, PPP kubu Romahurmuziy belum menyatakan dukungan mereka (baca: Kata Djan Faridz: Anies Enggak Tahu Malu, Nyontek Program Ahok Djarot).
Beberapa foto cuitan dari para pendukung pasangan calon Anies-Sandi yang menyerang akun @TrianaPPP ialah sebagai berikut.
Serangan-serangan yang bersifat melecehkan tidak hanya sampai di sini. Akun @Awkafir juga beberapa kali mengomentari aku @TrianaPPP yang mendukung pasangan Ahok-Djarot. Namun akun @Awkafir sendiri saat ini sudah tidak ada, kemungkinan sudah tutup akun. Serangan-serangan ini terus dilontarkan oleh akun-akun pendukung pasangan Anies-Sandi.
Padahal belum lama ini kita baru saja memperingati International Women’s Day. Akan tetapi, perempuan masih menjadi sasaran empuk bagi mereka yang masih menganggapnya sebagai objek yang sarat akan pelecehan seksual. Sekiranya, mereka harus ingat bahwa perempuan juga memiliki peran dalam setiap rongga kehidupan termasuk dalam ranah politik di Indonesia. Banyak dari kasus-kasus tweetwar serupa yang kemudian menjurus pada komentar-komentar yang bersifat melecehkan apabila orang yang bersangkutan merupakan seorang perempuan.
Dari kasus-kasus seperti ini kita dapat menyimpulkan bahwa kualitas pasangan calon memang dapat dengan jelas dilihat dari kualitas pendukung-pendukungnya. Dalam hal ini, media sosial menjadi wadah yang sangat mudah bagi para netizen untuk mendukung pasangan calon pilihan masing-masing. Akan tetapi, komentar yang dilontarkan tentu akan membuat kita menilai seperti apa calon pasangan yang mereka dukung.
Pasangan Anies-Sandi yang belakangan menawarkan program-program yang tidak jelas mulai kelabakan sepertinya sampai harus menggunakan isu SARA untuk mengintimidasi warga yang mendukung pasangan Ahok-Djarot. Mantan Menteri pecatan Jokowi itu makin berputar-putar dalam menjelaskan program yang juga tak masuk akal itu, awalnya bilang beli rumah DP 0%, setelah itu dengan DP 0 Rupiah, lalu DP di cicil, kemudian bilangnya Rusunami dan kini dia makin ngaco (baca: Anies Makin Ngawur, Katanya Rumah Tanpa DP Bukan Program Bangun Rumah).
Bahkan belakangan, pasangan Anies-Sandi ini hanya menyuguhkan program-program yang sudah dijalankan oleh pasangan petahana Ahok-Djarot dengan hanya menambahkan kata ‘plus’ pada program Kartu Jakarta Pintar (KJP) menjadi KJP Plus (baca: KJP Plus dari Anies Ada Diskon Belanja di Mal dan Mobil, Makin Tidak Masuk Akal).
Tak heran apabila para pendukungnya memiliki kualitas yang sama dengan calon pasangan yang didukung. Keterbatasan program untuk bisa bersaing dengan pasangan petahana sepertinya menjadi penyebab isu SARA dihembuskan dengan kencang melalui intimidasi-intimidasi terhadap warga pendukung Ahok-Djarot.
(gerpol)